Sunday, December 27, 2009

PATOFISIOLOGI STROKE INFARK AKIBAT TROMBOEMBOLI

I. PENDAHULUAN
Stroke adalah penyakit yang merupakan penyebab kematian tersring
ke tiga di negara Amerika, merupakan penyakit yang paling sering menimbulkan
kecacatan.Menurut American Heart Association, diperkirakan terjadi 3 juta
penderita stroke pertahun, dan 500.000 penderita stroke yang baru terjadi
pertahun. Sedangkan angka kematian penderita stroke di Amerika adalah 50-
100/100.000 penderita pertahun. Angka kematian tersebut mulai menurun sejak
awal tahun 1900, dimana angka kematian sesudah tahun 1969 menurun hingga
5% pertahun. Beberapa peneliti mengatakan bahwa hal tersebut akibat kejadian
penyakit yang menurun yang disebabkan karena kontrol yang baik terhadap
faktor resiko penyakit stroke.
Di Indonesia masih belum terdapat epidemiologi tentang insidensi dan
prevalensi penderita stroke secara nasional. Dari beberapa data penelitia yang
minim pada populasi masyarakat didapatkan angka prevalensi penyakit stroke
pada daerah urban sekitar 0,5% (Darmojo , 1990) dan angka insidensi penyakit
stroke pada darah rural sekitar 50/100.000 penduduk (Suhana, 1994).
Sedangkan dari data survey Kesehatan Rumah Tangga (1995) DepKes RI,
menunjukkan bahwa penyakit vaskuler merupakan penyebab kematian pertama
di Indonesia.
Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa pencegahan dan
pengobatan yang tepat pada penderita stroke merupakan hal yang sangat
penting, dan pengetahuan tentang patofisiologi stroke sangat berguna untuk
menentukan pencegahan dan pengobatan tersebut, agar dapat menurunkan
angka kematian dan kecacatan.
Berdasarkan gejala klinis, Infark serebri dapat dibagi menjadi 3, yaitu
Infark aterotrombotik (aterotromboli), Infark kardioemboli, dan Infark lakuner.
Menurut Warlow, dari penelitia pada populasi masyarakat, Infark aterotrombotik
merupakan penyebab stroke yang paling sering terjadi, yaitu ditemukan pada
50% penderita aterotrombotik bervariasi antara 14-40%. Infark aterotrombotik
terjadi akibat adanya proses aterotrombotik pada arteri ekstra dan intrakranial.
Proses aterotrombotik tejadi melalui 2 cara, yaitu:
1. Aterotrombotik in situ, terjadi akibat adanya plak yang terbentuk akibat
proses aterosklerotik pada dinding pembuluh darah intrakranial, dimana plak
tersebut membesar yang dapat disertai dengan adanya trombus yang
melapisi pembuluh darah arteri tersebut. Apabila proses tersebut terus
berlangsung maka akan terjadi penyumbatan pembuluh darah tersebut dan
penghentian aliran darah disebelah distal.
2. Tromboemboli (artery to artery embolus), terjadi akibat lepasnya plak
aterotrombolik yang disebut sebagai emboli, yaitu akan menyumbat arteri
disebelah distal dari arteri yang mengalami proses aterosklerotik.
II. POLA TERJADINYA ATEROMA
A. Distribusi Pembentukan Ateroma
Ateroma sering ditemukan pada arang tua, akan tetapi proses
pembentukannya telah terjadi sejak masa kanak-kanak hingga dewasa muda.
Proses tersebut terus berlangsung tanpa menimbulkan gejala selama 20-30
tahun. Ateroma biasanya terjadi pada arteri yang berukuranbesar (arkus aorta)
dan arteri yang berlekuk-lekuk (sifon karotis), dan arteri yang konfluen
(a.basilaris). Sedangkan pada tempat yang jarang terjadi pembentukan ateroma
yaitu pada ujung distal arteri karotis interna hingga karotikus dan pada arteri
serebri anterior. Sehingga lepasnya ateroma tersebut lebih sering menyebabkan
penyumbatan pada arteri serebri media.
Adanya distribusi khusus terjadinya ateroma diatas sebenarnya
disebabkan karena adanya haeomodynamics shear stress dantrauma endotel
pembuluh darah pada daerah tersebut, yaitu pada tempat dimana terdapat
perbedaan aliran darah, stagnasi darah dan turbulensi.
Proses pembentukan ateroma dapat terjadi hanya pada satu sisi
pembuluh darah saja, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan geometri
anatomi pembuluh darah secara individual. Biasanya disertai oleh adanya proses
aterosklerotik yang ditemukan di tempat lain, yaitu dengan adanya angina atau
Infark miokardium, atau claudicasio. Proses pembentukan ateroma tersebut yang
terjadi di berbagai arteri, diotak, aorta, atau pembuluh darah lain mempunyai
proses ygsama. Adanya faktor genetika juga berpengaruh pada proses tersebut,
yang diperberat dengan faktor lain seperti hipertensi. Hal ini menjelaskan
mengapa pada ras kulit hitam dan kulit berwarna lebih sering terbentuk ateroma
pada arterioklerotik intrakranial dibandingkan pada arteri ekstrakranial
B. Proses Pembentukan Ateroma
Pembentukan ateroma sebenarnya telah dimulai dengan pembentukan
Fatty streak sejak masa kanak-kanak. Proses tersebut dimulai dengan adanya
kerusakan jaringan. Pada hipotesa Response to Injury Hypothesis, penyebab
kerusakan pada endotel, baik perubahan struktural ataupun perubahan
fungsional, akibat adanya faktor-faktor seperti hiperkholesterolemia kronis,
adanya perubahan fungsional shear stress aliran darah pada endotel pembuluh
darah,ataupun adanya disfungsi akibat toksin atau zat-zat lain. Kerusakan
endotel tersebut menyebabkan perubahan permiabilitas endotel, perubahan selsel
endotel atau perubahan hubungan antara sel endotel dan jaringan ikat
dibawahnya, sehingga daya aliran darah didalamnya dapat menyebabkan
pelepasan sel endotel kemudian terjadi hubungan langsung antara komponen
darah dan dinding arteri. Kerusakan endotel akan menyebabkan pelepasan faktor
pertumbuhan yang akan merangsang masuknya monosit ke lapisan intima
pembuluh darah. Lipid akan masuk kedalam pembuluh darah melalui trasnport
aktif danpasif. Monosit pada dinding pembuluh darah akan berubah menjadi
mikrofag akan memfagosit kholesterol LDL, sehingga akan terbentuk foam sel.
Oleh karena itu, gambaran mikroskopis dari fatty streak akan berupa kumpulan
sel-sel yang berisi lemak sehingga tampak seperti busa yang disebut sebagai
foam cells. Beberapa tahun kemudian proses tersebut berlanjut dengan
terjadinya sel-sel otot polos arteri dari tunika adventisia ke tunika intima akibat
adanya pelepasan platelet derived grawth factor (PDGF) oleh makrofag, sel
endotel, dan trombosit. Selain itu, sel-sel otot polos tersebut yang kontraktif
akan berproliferasi danakan berubah menajdi lebih sintesis (fibrosis). Makrofag,
sel endotel, sel otot polos maupun limfosit T (terdpat pada stadium awal plak
aterosklerosis) akan mengeluarkan sitokines yang memperkuat interaksi antara
sel-sel tersebut. Adanya penimbunan kolesterol intra dan eksta seluler disertai
adanya fibrosis maka akan terbentuk plak fibrolipid. Pada inti dari plak tersebut,
sel-sel lemak dan lainnya akan menjadi nekrosis dan terjadi kalsifikasi. Plak ini
akan menginvasi dan menyebar kedalam tunika media dinding pembuluh darah,
sehingga pembuluh darah akan menebal dan terjadi penyempitan lumen.
Degenerasi dan perdarahan pada pembuluh darah yang mengalami
sklerosis (akibat pecahnya pembuluh darah vasa vasorum) akan menyebabkan
kerusakan endotel pembuluh darah. Hal ini akan terjadi perangsangan adhesi,
aktifasi dan agregasi trombosit, yang mengawali koagulasi darah dan trombosis.
Trombosit akan terangsang dan menempel pada endotel yang rusak, sehingga
terbentuk plak aterotrombotik.
C. Trombosis
Pembentukan trombus arteri dipengaruhi oleh 3 bagian yang penting,
yaitu adanya keadan subendotel vaskuler, trombin dan metabolisme asam
arakhidonat. Trombolis diawali dengan adanya kerusakan endotel, sehingga
tampak jaringan kolagen dibawahnya. Sherry mengatakan pula bahwa proses
trombosis terjadi akibat adanya interaksi antara trombosit dandinding pembuluh
darah, akibat adanya kerusakan endotel pembuluh darah.
Endotel pembuluh darah yang normal bersifat antitrombosis, hal ini disebabkan
karena adanya glikoptotein dan proteoglikan yang melapisi sel endotel dan
adanya prostasiklin (PGI2) pada endotel yang bersifat vasodilator dan inhibisi
paltelet agregasi.Pada endotel yang mengalami kerusakan, darah akan
berhubungan dengan serat-serat kolagen pembuluh darah, kemudian akan
merangsang trombosit dan agregasi trombosit dan merangsang trombosit
mengeluarkan zat-zat yang terdapat didalam granula-granula didalam trombosit
dan zat-zat yang berasal dari makrofag yang mengandung lemak.
Gambar-1: Distribusi ateroma Gambar-2: Pembentukan ateroma
(Warlow, 1997) (Warlow, 1997)
Akibat adanya reseptor pada trombosit menyebabkan perlekatan trombosit
dengan jaringan kolagen pembuluh darah. Perlekatan tersebut ditentukan pula
oleh adanya unsur-unsur matriks pembuluh darah dankecapatan aliran darah.
Trombosit yang teraktifasi akan berubah bentuk menjadi bulat dan
menggelembung, membentuk psodopodia, dan menampilkan glikoprotein pada
permukaan membran trombosit sebagai reseptor. Perlekatan trombosit dengan
serat kolagen melalui Von Willebrand factor (VWF).Perlekatan tersebut akan
merangsang pelepasan Platelet Factor 3 (PF3=Clot accelerating factor). Bila
terdapat kerusakan pembuluh darah, akan menyebabkan bertambah banyaknya
zat-zat yang biasanya terdapat pada pembuluh darah yang normal, seperti seratserat
kolagen,katekolamin, adrenalin, noradrenalin, dan juga ADP, dimana akan
menyebabkan bertambah eratnya perlekatan trombosit.
Pada kecepatan aliran darah yang cepat, perlekatan trombosit pada
ajringan kolagen melibatkan reseptor glikoprotein (GP) yaitu GP VI dan GP Ib- VIX
pada Von Willebrand factor (vWF). Sedangkan pada aliran darah yang lambat,
akan melibatkan reseptor GP VI, Integrin 2 1, dan GP Ib-V-IX pada vWF.
Adanya kerusakan dinding pembuluh darah juga menyebabkan
pelepasan tromboplastin (Tissue factor III) dan faktor hageman (Contact factor
XII) dari jaringan yang akan menyebabkan pembentukan trombin dari
protrombin. Trombin akan memacu agregasi trombosit danmerangsang
perubahan fibrinogen menjadi fibrin, dimana fibrin akan mempererat perlekatan
trombosit dan merangsang p-selektin sel endotel yang menambah permeabilitas
sel. Trombin mengikat trombosit melalui 2 reseptor,yaitu moderate affinity
reseptor dan high affinity receptor (GP IbV-IX dan vWF receptor). Fibrin akan
memacu adesi trombosit,hal ini terjadi karena adanya reseptor GP Iib-IIIa
(integrin IIB3) pada fibrin tersebut.
Pengikatan trombosit dengan jaringan kolagen pembuluh darah
mengaktivasi trombosit untuk merangsang pelepasan Ca++, juga akan
merangsang pembentukan psodopodia dan penyebaran sel trombosit.
Saat trombosit mengalami adesi dan penyebaran, -granul dan delta
granul yang berada di dalam trombosit akan berkumpul ditengah sel trombosit.
Bila terdapat aktivasi, alfa dan delta granul tersebut akan berjalan menuju ke
membran trombosit, danakan melepaskan zat-zat didalamnya, seperti ADP,
epinephrine, Ca++, PGDF (platelet growth derived factor), -TG (thrombo
globulin), PF-4 (platelet 4=antiheparin factor), 5HT (serotonin), vWF (von
Willebrand factor), dan fibrinogen, ATP, adenosine nukleotides, dan juga kalium
ke dalam plasma darah. Zat-zat tersebut akan merangsang terjadinya agregsi
trombosit laindisekitarnya. ADP yang berkaitan dengan reseptor P2Y1 yang
terdapat pada trombosit, menyebabkan pelepasan agregasi trombosit yang
irreversibel.
Asam arakhidonik dilepaskan dari fosfolipdi membran sel oleh enzim
fosfolipase A-2 atau oleh bahan kimia, hormon tertentu, stimuli mekanik,
trombin, norepineprin, bradikinin, trauma fisik dan sebagainya.
Asam arakhidonat dilepaskan dari fosfolipid membran sel oleh enzim
fosfolipase A-2 atau oleh bahan kimia, hormon tertentu, stimuli mekanik,
trombin, norepineprin, bradikinin, trauma fisik dan sebagainya.
Asam arakhidonat yang dilepaskan akan dimetabolisir melalui 4 jalur,
seperti bagan dibawah ini:
1. oleh enzim cyclo-oksigenase akan dibentuk tromboksan dan prostaglansdin
lain
2. oleh enzim lipooksigenase akan dibentuk hydroxy-acid (leukotriene)
3. akan terjadi reacylation sehingga terbentuk fosfolipid
4. akan terjadi hydrophic binding yang akan membentuk albumin
Leukotrien mempunyai peranan penting dala penyakit radang dan alergi.
Sedangkan peranan reacylatin dan hydrophic binding masih belum jelas.
Asam arakhidonik, oleh enzim cyclo-oxygenase, dirubah menjadi
Prostaglandin G2 (PGG2), kemudian menjadi Prostaglandin-H2 (PGH2),yang
merupakan peroksida yang tidak stabil. PGH2 ini akan dirubah menjadi PGF2
(vasokonstriksi), PGE2 (vasodilatasi), PGD2(antiagregasi), Prostasiklin (PGI2) di
endotel pembuluh darah dan Tromboksan A2 (TXA2) di dalam trombosit.
Perubahan ini pada keadaan normal harus dalam keadaan seimbang. Prostasiklin
(PGI2) dibentuk akibat adanya enzim prostasiklin sintetase, dan berfungsi
sebagai vasodilatasi dan anti penggumpalan trombosit. Sedangkan Tromboksan
A2 (TXA2) dibentuk akibat adanya enzim tromboksan sintetase dan berfungsi
sebagai vaso konstriksi dan pengumpulan trombosit.
III. PATOFISOLOGI INFARK TROMBOEMBOLI
Plak aterotrombotik yang terjadi pada pembuluh darah ekstrakranial
dapat lisis akibat mekanisme fibrinotik pada dinding arteri dan darah, yang
menyebabkan terbentuknya emboli, yang akan menyumbat arteri yang lebih
kecil, distal dari pembuluh darah tersebut. Trombus dalam pembuluh darah juga
dapat akibat kerusakan atau ulserasi endotel, sehingga plak menjadi tidak stabil
dan mudah lepas membentuk emboli. Emboli dapat menyebabkan penyumbatan
pada satu atau lebih pembuluh darah. Emboli tersebut akan mengandung
endapan kolesterol, agregasi trombosit dan fibrin. Emboli akan lisis, pecah atau
tetap utuh dan menyumbat pembuluh darah sebelah distal, tergantung pada
ukuran, komposisi, konsistensi dan umur plak tersebut, dan juga tergantung
pada pola dan kecepatan aliran darah. Sumbatan pada pembuluh darah tersebut
(terutama pembuluh darah di otak) akan meyebabkan matinya jaringan otak,
dimana kelainan ini tergantung pada adanya pembuluh darah yang adekuat.
Otak yang hanya merupakan 2% dari berat badan total, menerima
perdarahan 15% dari cardiac output dan memerlukan 20% oksigen yang
diperlukan tubuh manusia, sebagai energi yang diperlukan untukmenjalankan
kegiatanneuronal. Energi yang diperlukan berasal dari metabolisme glukosa,
yang disimpan di otak dalam bentuk glukosa atau glikogen untuk persediaan
pemakaian selama 1 menit, dan memerlukan oksigen untuk metabolisme
tersebut, lebih dari 30 detik gambaran EEG akan mendatar, dalam 2 menit
aktifitas jaringan otak berhenti, dalam 5 menit maka kerusakan jaringan otak
dimulai, dan lebih dari 9 menit, manusia akan meninggal.
Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa
yang diperlukan untuk pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi penurunan
Na-K ATP ase, sehingga membran potensial akan menurun. K+ berpindah ke
ruang CES sementara ion Na dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini
menyebabkan permukaan sel menjadi lebih negatif sehingga terjadi membran
depolarisasi. Saat awal depolarisasi membran sel masih reversibel, tetapi bila
menetap terjadi perubahan struktural ruang menyebabkan kematian jaringan
otak. Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi menurun dibawah ambang batas
kematian jaringan, yaitu bila aliran darah berkurang hingga dibawah 0,10 ml/100
gr.menit.
Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan
gangguan fungsi enzim-enzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya asidosis
menimbulkan edema serebral yang ditandai pembengkakan sel, terutama
jaringan glia, dan berakibat terhadap mikrosirkulasi. Oleh karena itu terjadi
peningkatan resistensi vaskuler dan ekmudian penurunan dari tekanan perfusi
sehingga terjadi perluasan daerah iskemik.
Peranan ion Ca pada sejumlah proses intra dan ekstra seluler pada
keadaan ini sudah makin jelas, dan hal ini menjadi dasar teori untukmengurangi
perluasan daerah iskemi dengan mengatur masuknya ion Ca.
Komplikasi lebih lanjut dari iskemia serebral adalah edema serbral.
Kejadian ini terjadi akibat peningkatan jumlah cairan dalam jaringan otak sebagai
akibat pengaruh dari kerusakan lokal atau sistemis. Segera setelah terjadi
iskemia timbul edema serbral sitotoksik. Akibat dari osmosis sel cairan berpindah
dari ruang ekstraseluler bersama dengan kandungan makromolekulnya.
Mekanisme ini diikuti dengan pompa Na/K dalam membran sel dimana transpor
Na dan air kembali keluar ke dalam ruang ekstra seluler. Pada keadaan iskemia,
mekanisme ini terganggu danneuron menjadi bengkak. Edema sitotoksik adalah
suatu intraseluler edema. Apabila iskemia menetap untuk waktu yang lama,
edema vasogenic dapat memperbesar edema sitotoksik.
Hal ini terjadi akibat kerusakan dari sawar darah otak, dimana cairan
plasma akan mengalir ke jaringan otak dan ke dalam ruang ekstraseluler
sepanjang serabut saraf dalam substansia alba sehingga terjadi
pengumpalancairan. Sehingga vasogenik edema serbral merupakan suatu edema
ekstraseluler. Pada stadium lanjut vasigenic edema serebral tampak sebagai
gambaran fingerlike pada substansia alba. Pada stadium awal edema sitotoksik
serbral ditemukan pembengkakan pada daerah disekitar arteri yang terkena. Hal
ini menarik bahwa gangguan sawar darah otak berhungan dengan meningkatnya
resiko perdarahan sekunder setelah rekanalisasi (disebut juga trauma reperfusy).
Edema serbral yang luas setelah terjadinya iskemia dapat berupa
space occupying lesion. Peningkatan tekanan tinggi intrakranial yang
menyebabkan hilngnya kemampuan untuk menjaga keseimbangan cairan
didalam otak akan menyebabkan penekanan sistem ventrikel, sehingga cairan
serebrospinalis akan berkurang. Bila hal ini berlanjut,maka akan terjadi herniasi
kesegala arah, dan menyebabkan hidrosephalus obstruktif. Akhirnya dapat
menyebabkan iskemia global dan kematian otak.
IV. PENYEBAB TERJADINYA ATHEROMA
Pembentukan ateroma dimulai dgnadanya kerusakan endotel
pembuluh darah, hal ini dipengaruhi oleh adanya faktor genetik, juga disebabkan
karena adanya faktor lain seperti adanya hipertensi,merokok,
danhiperkholesterolemia. Gangguan genetik yang menyebabkan kolesterol serum
meningkatdimana terjadi defek genetik pada reseptor LDL, sehingga LDL yang
terdapat di dalam sirkulasi tidak dapat dihilangkan secara efisien, sehingga
terbentuk proses aterosklerosis yang prematur.
Selain daripada itu masih banyak faktor lain yang memungkinkan
terbentuknya ateroma pada pembuluh darah seseorang. Faktor tersebut dapat
dibagi menjadi:
A. Faktor Definitif

  • Usia
Usia merupakan faktor utama pembentukan ateroma, sehinggamerupakan faktor utama terjadinya stroke. Pembentukan ateroma terjadiseiring bertambahnya usia, dimana stroke paling sering terjadi pada usialebih dari 65 tahun, tetapi jarang terjadi pada usia dibawah 40 tahun.Dikatakan bahwa proses pembentukan ateroma tersebut dapat terjadi 20-30 tahun tanpa menimbulkan gejala.
  • Jenis kelamin pria
Stroke lebih sering terjadi pada pria. Diperkirakan bahwa insidensi stroke
pada wanita lebih rendah dibandingkan pria, akibat adanya estrogen yang
berfungsi sebagai proteksi pada proses aterosklerosis. Di lain pihak
pemakaian hormon setrogen dosis tinggi menyebabkan peningkatan
kematian akibat penyakit kardiovaskuler pada pria. Oleh karena itu faktor
ini sebenarnya masih diperdebatkan
  • Tekanan darah tinggi
Merupakan faktor yang penting pada pathogenesa terjadinya stroke
iskemia dan perdarahan. Biasanya berhubungan dengan tingginya
tekanan diastolik. Mekanismenya belum diketahui secara pasti, tetapi
pada percobaan binatang (anjing) didapatkan bahwa adanya tekanan
darah yang tinggi menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah dan
meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah terhadap lipoprotein.
Di Framingham, resiko relatif terjadinya stroke pada setiap peningkatan
10 mmHg tekanan darah sistolik adalah 1,9 pada pria dan 1,7 pada wanita
dimana faktor-faktor lain telah diatasi.
  • Merokok
Merokok merupakan faktor resiko yang independen. Mekanisme terjadinya
ateroma tersebut belum diketahui secara pasti, tetapi kemungkinan
akibat:
o Stimulasi sistim saraf simpatis oleh nikoton dan ikatan O2 dengan
hemoglobin akan digantikan dengan Karbonmonoksida
o Reaksi imunologi direk pada dinding pembuluh darah
o Peningkatan agregasi trombosit
o Peningkatan permeabilitas endotel terhadap lipid akibat zat-zat
yang terdapat di dalam rokok.
  • Diabetes mellitus
Diabetes mellitus sindroma klinis heterogen yang ditandai oleh peninggian
kadar glukosa darah kronis. Salah satu penyulit vaskuler pada penderita
ini adalah penyakit pembuluh darah serbral. Penderita ini mempunyai
resiko terjadinya stroke 1,5-3 kali lebih sering jika dibandingkan dengan
populasi normal. Pada penelitian di Surabaya tahun 1993 ditemukan 4,2%
penderita DM mendapat penyulit gangguan pembuluh darah serbral
(stroke). Hipertensi yang terjadi pada penderita DM, merupakan salah
satu faktor terjadinya stroke.
Hiperlikemi kronis akan menimbulkan glikolisasi protein-protein dalam
tubuh. Bila hal ini berlangsung hingga berminggu-mingu, akan terjadi
AGES (advanced glycosylate end products) yang toksik untuk semua
protein. AGE protein yang terjadi diantaranya terdapat pada receptor
makrofag dan reseptor endotel. AGE reseptor dimakrofag akan
meningkatkan produksi TNF (tumor necrosis factors), ILI (interleukine-I),
IGF-I (Insuline like growth factors-I_. Produk ini akan memudahkan
prolipelisasi sel dan matriks pembuluh darah. AGE Reseptor yang terjadi di
endotel menaikkan produksi faktor jaringan endotelin-I yang dapat
menyebabkan kontriksi pembuluh darah dan kerusakan pembuluh darah.
  • Peningkatan fibrinogen plasma
Fibrinogen berhubungan dengan pembentukan aterogenesis dan
pembentukan trombus arteri. Pada penelitan di Bramingham, angka
kejadian penyakit Kardiovasculer meningkat sesuai dengan peningkatan
kadar vibrinogen plasma.
  • Profil lipid darah
Produk kolesterol didalan darah yang terbanyak adalah Low Density
Lipoprotein (LDL), LDL ini meningkat dengan adanya proses
aterosklerosis. Sedangkan High Density Lipoprotein (HDL) merupakan
proteksi terhadap terbentuknya aterosklerosis akibat fasilitas
pembuangan (disposal) partikel kolestrol.
Akhir-akhir ini ditemukan adanya lipoprotein(a) yang menyerupai LDL,
dan melekat pada suatu apoprotein yang disebut apo(a) oelh jembatan
disulfida. Apo (a) merupakan struktur dalam darah yang sama dengan
plasminogen dimana plasminogen merupakan plasma protein yang
penting dalam proses fibrinolisis pada proses pembekuan. Sehingga
dengan banyaknya lipoprotein (a) akan menghambat aktivitas trombolitik
oleh plasminogen. Akan tetapi adanya kelainan tersebut lebih sering
menyababkan penyakit jantung koroner dibandingkan menimbulkan
stroke.
B. Posibel
Peningkatan aktifitas faktor VII koagulan plasma
Aktifitas fibrinolitik yang rendah
Peningkatan antigen aktifator plasminogen jaringan
Aktifitas fisik yang rendah
Pada pekerja dengan aktifitas fisik yang berat menimbulkan
penurunan angka kejadian penyakit kardiovaskuler. Hal ini disebabkan
karena, pada oekerja berat, akan terjadi penurunan tekanan darah akibat
kehilangan berat badan, dan menyebabkan penurunan denyut nadi,
peningkatan kolesterol HDL, penurunan kolesterol LDL, memperbaiki toleransi
glukosa, perubahan kebiasaan buruk seperti merokok.
Peningkatan hematokrit
Biasanya akibat peningkatan sel darah merah dengan peningkatan
fibrinogen darah yang menyababkan peningkatan viskositas darah. Hal ini
menyebabkan kelainan patologis yang akan menyebabkan penyempitan arteri
penetrasi yang berukuran kecil, dan arteri serebri yang besar mengalami
stenosis yang berat.
Obesitas
Obesitas menjadi faktor resiko biasanya berhubungan dengan
tingginya tekanan darah, gula darah, dan lipid serum.
Diet
Pada makanan yang paling menentukan angka kejadian penyakit
kardiovaskuler adalah konsumsi garam yang berhubungan dengan
peningkatan tekanan darah. Jika pada penderita kelainan vaskuler akibat
konsumsi minuman yang mengandung kafein, hal ini disebabkan karena
adanya efek hiperlipidemia pada minuman kopi, atau karena pada peminum
kopi sering disertai dengan adanya kebiasaan merokok.
Alkohol
Alkohol dapat menyebabkan terhambatnya proses fibrinolisis, biasanya
terjadi pada penderita dengan hipertensi dan diabetes mellitus. Ada yang
mengatakan bahwa alkohol masih merupakan faktor resiko yang
kontroversial. Walaupun behitu angka kejadian stroke meningkat pada
peminum alkohol sedang hingga berat dibandingkan dengan seseorang yang
bukan peminum alkohol.
Ras
Prevelansi yang berbeda terjadi pada orang dengan kulit putih, hitam
dan Asia, bukan hanya akibat faktor genetik. Hal ini akibat rendahnya
kolesterol serum, tingginya intake alkohol dan konsumsu makanan tradisional
Asia yang rendah lemak dan protein yang berasal dari hewan berhubungan
dengan rendahnya penyakit jantung koroner tetapi menyababkan tingginya
kejadian stroke.
Status sosial
Pocock dan kawan-kawan(1980), menyatakan bahwa status sosial
berhubungan dengan peningkatan kematian akibat penyakit stroke. Hal ini
disebabkan karena tingginya kejadian stroke pada penduduk yang tidak
bekerja dan yang berpenghasilan rendah, karena tingginya stress pada
penderita tersebut, diet yang rendah, status sosial yang rendah maupun
nutrisi dan kesehatan yang rendah sewaktu dalam kendungan dan masa bayi.

DAFTAR PUSTAKA
Asbury AK. Disease of the nervous system clinical neurology, vol 2. 2nd ed.
Philadelphia WBSaunders, 1992:1019-1029
Caplan LR. Stroke a clinical approach. 3rd ed. Wellington : Butterworth, 1993; 3,
517
Demyelinisasi Graba TJ. Atherogenesis and strokes, in barnet HJM, Strokes
pathophysiology, diagnosis and management 2nd ed. New York:
Churchill, 1992:29-41
Hacke W. Cerebral ischemia. Germany: Springer-Verlag, 1991
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 1st ed. London: Lea & Febriger,
1993:84-84
Ross R. Factors influencing atherogenesis, in Schalnt The Heart arteries and
veins 8yh ed. New York: McGraw Hill, 1994:989-1006
Sacco RL. Pathogenesis, classification and epidemiology of cerebrovasular
disease, in Rowland LP, Merrits textbook of neurology. 9th ed.
Baltimore: William & Wilkin, 1999: 238-242
Sherry S. Fibrinolysis, thrombosis and hemostasis concepts, prespectives and
clinical aplication. London ; Lea & Febiger, 1992: 33-35
Warlow, CP. Stroke a practical guide management. 1st ed. Blackwell Science,
1997: 190-202
Whisman JP. Et al. Classification of cerebrovascular disease III, special report
from the National Institute of neurological Disorders and Stroke,
Stroke 1990: 657-659
dikutip dari Dr ISKANDAR JAPARDI baca selengkapnya...

STROKE

A. Pengertian
Stroke adalah deficit neurologist akut yang disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal otak yang terkena (WHO, 1989).
B. Klasifikasi stroke
Berdasarkan proses patologi dan gejala klinisnya stroke dapat diklasifikasikan menjadi :
1. stroke hemoragik
Terjadi perdarahan cerebral dan mungkin juga perdarahan subarachnoid yeng disebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Umumnya terjadi pada saat melakukan aktifitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi yang tidak terkontrol.
2. stroke non hemoragik
Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh darah otak. Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau angun tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak.
Stroke non hemoragik dapat juga diklasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakitnya, yaitu :
1. TIA’S (Trans Ischemic Attack)
Yaitu gangguan neurologist sesaat, beberapa menit atau beberapa jam saja dan gejala akan hilang sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
1. Rind (Reversible Ischemic Neurologis Defict)
Gangguan neurologist setempat yang akan hilang secara sempurna dalam waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu..
1. stroke in Volution
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang muncul semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa hari.
1. Stroke Komplit
Gangguan neurologist yang timbul bersifat menetap atau permanent.
C. Etiologi
Ada beberapa factor risiko stroke yang sering teridentifikasi, yaitu ;
1. Hipertensi, dapat disebabkan oleh aterosklerosis atau sebaliknya. Proses ini dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah atau timbulnya thrombus sehingga dapat mengganggu aliran darah cerebral.
2. Aneurisma pembuluh darah cerebral
Adanya kelainan pembuluh darah yakni berupa penebalan pada satu tempat yang diikuti oleh penipisan di tempat lain. Pada daerah penipisan dengan maneuver tertentu dapat menimbulkan perdarahan.
3. Kelainan jantung / penyakit jantung
Paling banyak dijumpai pada pasien post MCI, atrial fibrilasi dan endokarditis. Kerusakan kerja jantung akan menurunkan kardiak output dan menurunkan aliran darah ke otak. Ddisamping itu dapat terjadi proses embolisasi yang bersumber pada kelainan jantung dan pembuluh darah.
4. Diabetes mellitus (DM)
Penderita DM berpotensi mengalami stroke karena 2 alasan, yeitu terjadinya peningkatan viskositas darah sehingga memperlambat aliran darah khususnya serebral dan adanya kelainan microvaskuler sehingga berdampak juga terhadap kelainan yang terjadi pada pembuluh darah serebral.
5. Usia lanjut
Pada usia lanjut terjadi proses kalsifikasi pembuluh darah, termasuk pembuluh darah otak.
6. Polocitemia
Pada policitemia viskositas darah meningkat dan aliran darah menjadi lambat sehingga perfusi otak menurun.
7. Peningkatan kolesterol (lipid total)
Kolesterol tubuh yang tinggi dapat menyebabkan aterosklerosis dan terbentuknya embolus dari lemak.
8. Obesitas
Pada obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah, salah satunya pembuluh drah otak.
9. Perokok
Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga terjadi aterosklerosis.
10. kurang aktivitas fisik
Kurang aktivitas fisik dapat juga mengurangi kelenturan fisik termasuk kelenturan pembuluh darah (embuluh darah menjadi kaku), salah satunya pembuluh darah otak.
D. Patofisiologi
1. Stroke non hemoragik
Iskemia disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh thrombus atau embolus. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area thrombus menjadi berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologist fokal. Perdarahan otak dapat ddisebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.
2. Stroke hemoragik
Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial yang seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akan menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.
E. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala yang muncul sangat tergantung pada daerah dan luasnya daerah otak yang terkena.
1. Pengaruh terhadap status mental
• Tidak sadar : 30% - 40%
• Konfuse : 45% dari pasien biasanya sadar
1. Daerah arteri serebri media, arteri karotis interna akan menimbulkan:
• Hemiplegia kontralateral yang disertai hemianesthesia (30%-80%)
• Afasia bila mengenai hemisfer dominant (35%-50%)
• Apraksia bila mengenai hemisfer non dominant(30%)
1. Daerah arteri serebri anterior akan menimbulkan gejala:
• hemiplegia dan hemianesthesia kontralateral terutama tungkai (30%-80%)
• inkontinensia urin, afasia, atau apraksia tergantung hemisfer mana yang terkena
1. Daerah arteri serebri posterior
• Nyeri spontan pada kepala
• Afasia bila mengenai hemisfer dominant (35-50%)
1. Daerah vertebra basiler akan menimbulkan:
• Sering fatal karena mengenai pusat-pusat vital di batang otak
• Hemiplegia alternans atau tetraplegia
• Kelumpuhan pseudobulbar (kelumpuhan otot mata, kesulitan menelan, emosi labil)
Apabila dilihat bagian hemisfer mana yang terkena, gejala dapat berupa:
1. Stroke hemisfer kanan
• Hemiparese sebelah kiri tubuh
• Penilaian buruk
• Mempunyai kerentanan terhadap sisi kontralateral sebagai kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan
1. stroke hemisfer kiri
• mengalami hemiparese kanan
• perilaku lambat dan sangat berhati-hati

• kelainan bidang pandang sebelah kanan
• disfagia global
• afasia
• mudah frustasi
F. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan penunjang disgnostik yang dapat dilakukan adalah :
1. laboratorium: mengarah pada pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kolesterol, dan bila perlu analisa gas darah, gula darah dsb.
2. CT scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan atau infark
3. MRI untuk mengetahui adanya edema, infark, hematom dan bergesernya struktur otak
4. angiografi untuk mengetahui penyebab dan gambaran yang jelas mengenai pembuluh darah yang terganggu
G. Penatalaksanaan medis
Secara umum, penatalaksanaan pada pasien stroke adalah:
1. Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan boleh dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil
2. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu diberikan ogsigen sesuai kebutuhan
3. Tanda-tanda vital diusahakan stabil
4. Bed rest
5. Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia
6. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
7. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu lakukan kateterisasi
8. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonik
9. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau suction berlebih yang dapat meningkatkan TIK
10. Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT
11. Penatalaksanaan spesifik berupa:
• Stroke non hemoragik: asetosal, neuroprotektor, trombolisis, antikoagulan, obat hemoragik
• Stroke hemoragik: mengobati penyebabnya, neuroprotektor, tindakan pembedahan, menurunkan TIK yang tinggi
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN STROKE
DIAGNOSA KEPERAWATAN
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL
INTERVENSI
1.Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d. penumpukan sputum (karena kelemahan, hilangnya refleks batuk)
Pasien mampu mempertahankan jalan nafas yang paten.
Kriteria hasil :
a. Bunyi nafas vesikuler
b. RR normal
c. Tidak ada tanda-tanda sianosis dan pucat
d. Tidak ada sputum
1. Auskultasi bunyi nafas
2. Ukur tanda-tanda vital
3. Berikan posisi semi fowler sesuai dengan kebutuhan (tidak bertentangan dgn masalah keperawatan lain)
4. Lakukan penghisapan lender dan pasang OPA jika kesadaran menurun
5. Bila sudah memungkinkan lakukan fisioterapi dada dan latihan nafas dalam
6. Kolaborasi:
• Pemberian oksigen
• Laboratorium: Analisa gas darah, darah lengkap dll
• Pemberian obat sesuai kebutuhan
2.Penurunan perfusi serebral b.d. adanya perdarahan, edema atau oklusi pembuluh darah serebral
Perfusi serebral membaik
Kriteria hasil :
a. Tingkat kesadaran membaik (GCS meningkat)
b. fungsi kognitif, memori dan motorik membaik
c. TIK normal
d. Tanda-tanda vital stabil
e. Tidak ada tanda perburukan neurologis
f.
1. Pantau adanya tanda-tanda penurunan perfusi serebral :GCS, memori, bahasa respon pupil dll
2. Observasi tanda-tanda vital (tiap jam sesuai kondisi pasien)
3. Pantau intake-output cairan, balance tiap 24 jam
4. Pertahankan posisi tirah baring pada posisi anatomis atau posisi kepala tempat tidur 15-30 derajat
5. Hindari valsava maneuver seperti batuk, mengejan dsb
6. Pertahankan ligkungan yang nyaman
7. Hindari fleksi leher untuk mengurangi resiko jugular
8. Kolaborasi:
• Beri ogsigen sesuai indikasi
• Laboratorium: AGD, gula darah dll
• Penberian terapi sesuai advis
• CT scan kepala untuk diagnosa dan monitoring
3.Gangguan mobilitas fisik b.d. kerusakan neuromuskuler, kelemahan, hemiparese
Pasien mendemonstrasikan mobilisasi aktif
Kriteria hasil :
a. tidak ada kontraktur atau foot drop
b. kontraksi otot membaik
c. mobilisasi bertahap
1. Pantau tingkat kemampuan mobilisasi klien
2. Pantau kekuatan otot
3. Rubah posisi tiap 2 jan
4. Pasang trochanter roll pada daerah yang lemah
5. Lakukan ROM pasif atau aktif sesuai kemampuan dan jika TTV stabil
6. Libatkan keluarga dalam memobilisasi klien
7. Kolaborasi: fisioterapi
4.Gangguan komunikasi verbal b.d. kerusakan neuromuscular, kerusakan sentral bicara
Komunikasi dapat berjalan dengan baik
Kriteria hasil :
a. Klien dapat mengekspresikan perasaan
b. Memahami maksud dan pembicaraan orang lain
c. Pembicaraan pasien dapat dipahami
1. Evaluasi sifat dan beratnya afasia pasien, jika berat hindari memberi isyarat non verbal
2. Lakukan komunikasi dengan wajar, bahasa jelas, sederhana dan bila perlu diulang
3. dengarkan dengan tekun jika pasien mulai berbicara
4. Berdiri di dalam lapang pandang pasien pada saat bicara
5. Latih otot bicara secara optimal
6. Libatkan keluarga dalam melatih komunikasi verbal pada pasien
7. Kolaborasi dengan ahli terapi wicara
5.(Risiko) gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. intake nutrisi tidak adekuat
Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil :
a. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
b. Berat badan dalam batas normal
c. Conjungtiva ananemis
d. Tonus otot baik
e. Lab: albumin, Hb, BUN dalam batas normal
1. Kaji factor penyebab yang mempengaruhi kemampuan menerima makan/minum
2. Hitung kebutuhan nutrisi perhari
3. Observasi tanda-tanda vital
4. Catat intake makanan
5. Timbang berat badan secara berkala
6. Beri latihan menelan
7. Beri makan via NGT
8. Kolaborasi : Pemeriksaan lab(Hb, Albumin, BUN), pemasangan NGT, konsul ahli gizi
6.Perubahan persepsi-sensori b.d. perubahan transmisi saraf sensori, integrasi, perubahan psikologi
Persepsi dan kesadaran akan lingkungan dapat dipertahankan
1. Cari tahu proses patogenesis yang mendasari
2. Evaluasi adanya gangguan persepsi: penglihatan, taktil
3. Ciptakn suasana lingkungan yang nyaman
4. Evaluasi kemampuan membedakan panas-dingin, posisi dan proprioseptik
5. Catat adanya proses hilang perhatian terhadap salah satu sisi tubuh dan libatkan keluarga untuk membantu mengingatkan
6. Ingatkan untuk menggunakan sisi tubuh yang terlupakan
7. Bicara dengan tenang dan perlahan
8. Lakukan validasi terhadap persepsi klien dan lakukan orientasi kembali
7.Kurang kemampuan merawat diri b.d. kelemahan, gangguan neuromuscular, kekuatan otot menurun, penurunan koordinasi otot, depresi, nyeri, kerusakan persepsi
Kemampuan merawat diri meningkat
Kriteria hasil :
a. mendemonstrasikan perubahan pola hidup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
b. Melakukan perawatan diri sesuai kemampuan
c. Mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber bantuan
1. Pantau tingkat kemampuan klien dalam merawat diri
2. Berikan bantuan terhadap kebutuhan yang benar-benar diperlukan saja
3. Buat lingkungan yang memungkinkan klien untuk melakukan ADL mandiri
4. Libatkan keluarga dalam membantu klien
5. Motivasi klien untuk melakukan ADL sesuai kemampuan
6. Sediakan alat Bantu diri bila mungkin
7. Kolaborasi: pasang DC jika perlu, konsultasi dengan ahli okupasi atau fisioterapi
8.Risiko cedera b.d. gerakan yang tidak terkontrol selama penurunan kesadaran
Klien terhindar dari cedera selama perawatan
Kriteria hasil :
a. Klien tidak terjatuh
b. Tidak ada trauma dan komplikasi lain
1. Pantau tingkat kesadaran dan kegelisahan klien
2. Beri pengaman pada daerah yang sehat, beri bantalan lunak
3. Hindari restrain kecuali terpaksa
4. Pertahankan bedrest selama fase akut
5. Beri pengaman di samping tempat tidur
6. Libatkan keluarga dalam perawatan
7. Kolaborasi: pemberian obat sesuai indikasi (diazepam, dilantin dll)
9.Kurang pengetahuan (klien dan keluarga) tentang penyakit dan perawatan b.d. kurang informasi, keterbatasan kognitif, tidak mengenal sumber
Pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit dan perawatan meningkat.
Kriteria hasil :
a. Klien dan keluarga berpartisipasi dalam proses belajar
b. Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit, pengobatan, dan perubahan pola hidup yang diperlukan
1. Evaluasi derajat gangguan persepsi sensuri
2. Diskusikan proses patogenesis dan pengobatan dengan klien dan keluarga
3. Identifikasi cara dan kemampuan untuk meneruskan progranm perawatan di rumah
4. Identifikasi factor risiko secara individual dal lakukan perubahan pola hidup
5. Buat daftar perencanaan pulang
baca selengkapnya...

© free template 3 columns